Dengarkan ceritaku!
Aku punya seorang teman, eh… teman atau adik, terserah! Toh jarak usia tidak begitu jauh.
Awalnya aku tidak begitu respek dengan sikapnya yang kunilai “awut-awutan”
Rambut agak “terjuntai” panjang, pake kaos (seharusnya laki-laki kalo ke kampus pake kemeja), jeans belel….,
Pokoknya dalam penglihatanku itu bukan ukuran rapi!
Tidakpun untuk saling bertegur sapa saat bertemu dikoridor, meski banyak juga mata kuliah kami yang sama (sekelas).
Dia sibuk dengan dunianya, aku sibuk dengan teori dualisme cahayaku ( lah! Jadi ingat ujian ANFISKIM)
Bagaimana cara menuturkan ini?.
malah jadi bingung….!
Intinya selama ini interaksi kami amat minimalis
Mungkin memang aku telah berburuk sangka (na’udzubillah)
Tak dinyana….
Beberapa waktu lalu kami dapat praktikum satu kelompok
Dalam hati jujur aku sedikit kecewa
Pasalnya telah terlebih dahulu membayangkan kalau si Mr X ini bakal cuci tangan tahu beres
Ternyata…….
Astagfirullah….!!!
Beliau sosok yang santun adanya
Jika bertanya, “ apa lagi yang mau kita kerjakan kak?.”
Atau menawarkan diri, “ kak biar saya saja yang ngeprint, saya ada printer dirumah.”
Ketika ternyata printernya tak dapat beroperasi dengan halus ia minta maaf,
“ maaf kak printernya nggak bisa dipake, saya sepertinya nggak bisa ngeprint tugas kita.”
Masya Allah……..
Di sela-sela praktikum kami sering berdiskusi…
Tentang pembinaan mahasiswa baru, tentang cinta orang tua, tentang kemandirian, tentang gaya hidup, tentang masa lalu, atau yang lain.
“ mau nggak jadi presiden mahasiswa?.” tanyaku penuh selidik.
“ nggak ah kak.”
“ kenapa?.” Keningku berkerut
“ saya orangnya langsung-langsung kak. Kalau saya nggak suka sama sesuatu, orang misalnya, saya akan langsung bilang. Tapi abis itu perasaan dihati plong, nggak ada kerasa apa-apa lagi.”
“ oh gitu ya…. emang nggak semua orang bisa di gituin! Kan beberapa sifat teman ada yang sensitif, melankolis, dan gampang tersinggung jika diberi tahu.” Argumenku bergulir.
“ iya, makanya nggak tertarik jadi presiden mahasiswa.”
“ kakak jadi ingat Abu Dzar Al Ghifary, tahu?.”
“ nggak.” Jawabnya seraya menggeleng
“ nggak tahu ya, terkenal banget sabda Rasul, Allah telah mengGhaffar suku Ghifar, Allah telah mengampuni suku ghifar karena Abu Dzar membawa penduduk kampungnya untuk berbai’at pada Rasulullah. Yah…. Coba cari bukunya trus baca!. Abu dzar tuh nggak tahan kalo liat kebatilan. Orangnya langsung-langsung!. Langsung beraksi memberantasnya.”
Beliau mengangguk-angguk……
“ moga-moga besok nggak ujan.” Doanya penuh harap ( tema pembicaraan berubah)
“ kenapa?, hujan adalah rahmat Tuhan.” ujarku meniru puisi hujan di buku SD dulu.
“ soalnya mau pulang kampung kak. ”
“ kok kampungan sih! hehehe.” Ucapku bercanda.
“ soalnya ada usaha di kampung kak, buka reparasi komputer, jadi saya pulang tiap libur.”
Aku kembali terkejut sampai jungkir balik (maksud?!)
“ punya penghasilan sendiri ya! mandiri berdikari. Mantap!. Seharusnya emang gitu, kita jangan terlalu membebani ortu. Apalagi kalo adik kita banyak!.”
“ ya kak, lumayanlah untuk tambah-tambah uang jajan.”
Redaksional percakapan kami mungkin tidak sepenuhnya seperti diatas, tapi….
Kurang lebih demikian.
Jika Allah tidak menakdirkan kami satu kelompok praktikum, mungkin aku tetap memikirkan hal yang sedemikian sehingga terhadapnya. (Thanks God!)
Don’t judge people from the cover…
Absolutely, it’s true
Kelamnya rona wajah tak berarti kelam pula rona di hati
Bisa saja hatinya penuh cahaya
Tapi…
Dilingkupi ketawadluan…
Tidak seperti kebanyakan orang
Memaksa agar wajahnya bercahaya ( musti pake whitening agent, pelembab, bedak dua ton…. …..bercanda!)
Dengan rendah hati mungkin ia ingin mengatakan bahwa,
“ ini gue yang sebenarnya!.”
So…
Nggak perlu bohong
Menunjukkan apa adanya saya
Saya hanya seorang ini..
Hanya mampu segini…
Dengan keterbatasan ini, ini, ini….
Moga beliau jadi Abu Dzar abad ini
Yang tak tahan melihat kekumuhan negeri
Yang langsung geram dengan kesewenang-wenangan
Yang langsung beraksi membasmi kemunafikan
Amin…. Ya Gaffururrahim ….