Sabtu, 08 Januari 2011

 Sabtu, Januari 08, 2011         No comments
Pagi yang mengagumkan, kubuka tirai jendela yang baru dicuci dua hari yang lalu. Mataku masih bengkak, kemungkinan besar karena malam tadi aku tidur kemalaman. Mengerjakan laporan kuliah yang seabrek membuat staminaku terkuras. Tapi, Alhamdulillah semua pekerjaanku berhasil kuselesaikan dengan sempurna, karenanya kukatakan ini adalah pagi yang mengagumkan, karena tidak ada lagi beban yang menyumbat disaraf otakku.
“ Esy,,,, bantuin ibu tuh!”. Kata Uni Esa yang tiba-tiba membuka pintu kamar.
“ Esy masih capek uni, gantian sama uni dulu ya!”. Pintaku memelas, uni hanya mengangkat bahu mahfum seraya beranjak dari kamarku.
Uni Esa adalah saudara kembar yang hanya terpaut Sembilan menit denganku. Tapi anehnya, banyak orang yang bilang paras kami berbeda jauh, uni sedikit hitam manis, kalau aku kuning langsat. Hidung uni mancung, sedangkan aku biasa saja. Dan yang sangat berbeda kontras adalah sifat uni yang kemayu dan lembut, sedangkan aku keras dan egois. Jadi wajar saja bila uni punya teman lebih banyak dari pada aku. Wajah uni mirip dengan wajah amak yang bersahaja, sedangkan aku mirip siapa ya?, kata abak wajahku mirip dengan wajah datuk buyut, tapi aku kurang begitu percaya karena tak ada bukti otentik tentang itu, memang ada foto datuk buyut yang diperlihatkan padaku, tapi yang namanya foto tempo dulu, warnanya hitam putih dan sudah tidak jelas lagi.
Hari ini aku masuk kuliah jam 09.50 WIB. Ada sedikit kesempatan untuk bermalas-malasan di depan televisi. Kutekan tombol power TV, seketika muncul seorang wanita langsing yang mempromosikan susu diet, kuubah channel dan muncul pula laki-laki berotot yang mempromosikan multivitamin kesehatan, kuubah lagi channel TV, tapi lagi-lagi yang muncul seorang balita yang jadi iklan shampoo bayi, kuubah lagi, sekarang yang muncul malah seekor kucing yang sedang terpana melihat kilauan rambut hitam panjang seorang wanita cantik.
“ Hah.. iklan shampoo apa hubungannya dengan kucing.?” Fikirku bingung.
“ Esy indak kuliah.?” Tanya Amak yang tiba-tiba saja sudah berada disebelahku.
“ Sy masuk jam sepuluh kurang Mak.” Jawabku singkat
“ Kalau begitu bantu Amak buat mengantarkan ini kerumah Tek Lis ya!.” Pinta amak lembut.
“ Antarkan sama uni sajalah mak…!.” Bujukku manja
“ Si Esa sedang masak di dapur, lagian apalah susahnya mengantarkan ini ke tempat Tek Lis, tidak jauh kan?.”
Aku hanya mengangguk lemas, tidak berani melalaikan permintaan Amak, nanti dibilang anak durhaka. Segera kupergi ke kamar mengambil jilbab, beberapa detik kemudian aku pamit ke rumah Tek Lis
“ Assalamu’alaikum Etek….” Ucapan salamku ketika sampai di halaman rumah Tek Lis. Namun setelah berapa lama tak juga kudengar jawaban salam dari Si Pemilik rumah.
“ Assalamu’alaikum Tek Lis, Pak Etek, Imu…” Kuulang mengucap salam seraya menyebutkan nama seluruh penghuni rumah itu. Tiba-tiba dari pekarangan samping datang Imu dengan segenggam kelereng ditangannya.
“ Eh… ada Uni Esy, cari amak ya uni?.”
“ Iya, mana amak Imu?.” Tanyaku penasaran.
“ Amak pergi ke pasar sama Abak, mereka bilang mau beli Kulkas.” Ungkap Imu polos. Aku sedikit kaget sekaligus senang mendengarnya. Tek Lis akhirnya membeli kulkas yang dapat dijadikan alat usaha.
“ Baguslah kalau begitu mu, dapat makan es setiap hari imu jadinya kan?.” Ucapku membesarkan hatinya.
“ Iyolah uni, kata Amak akan beli kulkas yang besar, dua pintu..” Cerita Imu lagi. Aku tertawa melihat kepolosan anak ini, kepolosan yang membuatku iri, karena inilah sifat yang sudah terkikis dari diriku.
“ Uni titip ini sama Imu, tolong kasih ke Amak yo!, bilang kalau ini dari Mak Tuo, bisa kan?.” Tanyaku sungguh-sungguh.
Imu mengiyakan permintaanku, kemudian berlari menuju rumah untuk meletakkan titipan tadi, sebentar kemudian Imu sudah berada lagi didepanku.
“ Uni Esa mana ni?.” Tanya Imu
“ Ada dirumah, mangkanya Imu main kerumah Uni!, kini pohon mangga didepan sudah berbuah lho.”
“ Iya uni, nanti Imu kesana.”
Aku pamit ke bocah enam tahun itu, kutaruh uang seribu rupih dikantongnya, Imu langsung girang dengan senyum mengembang.
“Terima kasih Uni…” Teriak Imu setelah aku jauh.

Sesampai dirumah aku segera mandi dan berbenah untuk ke kampus. Di meja makan sudah tersedia gulai ikan dan samba lado buatan ni esa. Tanpa basa-basi aku langsung melahap makanan yang super duper lezat itu dan mengabaikan hal lainnya.
“ ondeh Esy… elok-eloklah makan tuh!, beko tatalan tulang pulo.” Kata uni gemas. Tapi tetap saja aku mengacuhkan uni dan sibuk dengan makanan didepanku.
“ Apa kata Tek Lis waktu Esy ngantar surat kesana?.” Tanya Uni menyelidik. Seketika aku berhenti menyuap.
“ Maksud uni apa?.” Aku malah bertanya balik. Jujur aku tadi tidak tahu apa isi bungkusan yang diantarkan ke tempat Tek Lis.
“ Memang Sy tak tahu kalau Tek Lis pinjam uang ke Amak?.”
“ Indak tantu Esy do ni, berapa uang yang Tek Lis pinjam ni?.” Pertanyaanku makin menyelidik.
“ Uni dengar sih pertama dia meminjam tiga juta, setelah itu Etek pinjam lagi satu setengah juta.”
Mataku melotot bulat, seolah tak percaya Amak mau meminjamkan uang sebanyak itu kepada Tek Lis, padahal akhir-akhir ini kebutuhan keuangan keluarga meningkat. Tek Lis bukannya mengembalikan utang malah membeli kulkas.
Dengan ribuan kebingungan aku pergi ke kampus setelah berpamitan dengan Amak dan Abak juga Uni Esa. Siang ini fikiranku berkeluyuran kemana-mana. Terbayang kembali wajah lugu Imu yang menginginkan buah mangga didepan rumah.


Seisi kampung gempar, petang ini sebuah mobil angkut barang datang membawa banyak barang elektronik, ada kulkas, mesin cuci, televisi 29’, dan perkakas lainnya. Mobil itu berhenti tepat di depan rumah Tek Lis dan langsung menurunkankan muatannya. Para tetangga berbondong-bondong datang menyaksikan kejadian itu. Ada yang takjub dan berfikir keluarga Tek Lis sudah jadi orang kaya mendadak, ada juga yang mengernyit dahi dan berfikir macam-macam.
“ Banyaknya barang yang dibeli Si Lisa, dari mana pula dia dapat uang sebanyak itu.?” Ungkap Uwo Atun heran.
“ Mungkin baru dapat undian dia Uwo atau panennya kemarin berhasil.” Kata Ni Mar berkhusnudzon.
“ Manalah mungkin zaman sekarang bisa semudah itu memenangkan undian Mar, tidak mungkin…. Kulihat pun hasil panennya sama saja dengan kita, mungkin menang judilah Si Gafur itu.” Uncu Nun mulai mengenduskan gossip murahannya.
“ Indak buliah seperti itu Uncu!, Berprasangka buruk itu menjauhkan rezeki, kita doakan saja rezeki yang didapatkan Lis Halal dan baik.” Ni Mar kembali menasihati. Uwo Atun hanya mengangguk-angguk, sedangkan Uncu Nun bertambah sewot. Tak lama kemudian datang pula mobil yang mengangkut sepeda motor, benar-benar kaya mendadak Tek Lis rupanya.
“ Apa sebenarnya yang Amak titipkan buat Tek Lis kemarin?.” Tanyaku pada Amak saat santai setelah shalat maghrib. Kulihat Uni Esa mendekat.
“ Bukan apa-apa Sy, cuma surat saja”. Jawab Amak tenang.
“ Surat apa Mak?.” Keningku makin mengernyit, begitupun dengan Ni Esa. Amak terlihat enggan menceritakan yang sebenarnya.
“ Tapi kami kan anak Amak juga, kenapa Amak tak mau cerita, ayolah Mak.!” Pintaku memelas.
“ Tek Lis meminjam uang empat setengah juta enam bulan yang lalu, dia bilang mau mengembalikannya setelah panen musim ini, tapi sudah lebih empat bulan selesai panen belum juga dia berniat mengembalikan uang sebanyak itu.”
“ kenapa Amak mau meminjamkan uang sebanyak itu, Amak tahu kan tabiatnya yang susah mengembalikan uang orang?.” Protesku keras
“ itu kan Etek mu juga, apalah salahnya membantu keluarga sendiri?.”
“ Tapi tetap saja dia tidak memikirkan perasaan orang lain, utangnya saja belum lunas sudah sibuk membeli barang-barang mewah.” Omelku diluar kontrol.
“ Sudahlah sy, jangan difikirkan masalah ini, kau harus ingat Nak!, rezeki kita tak akan dimakan orang lain.” Kata Abak berwibawa. Aku mengangguk lesu, mencoba memaknai kata Abak yang satu ini.
Uni Esa pun tak terlalu memusingkan perkara ini, ketika kutanya apa yang harus kami lakukan, Uni hanya bilang berdoa saja supaya Tek Lis sadar akan utang-utangnya. Aku sempat kesal dengan tindakan keluargaku yang seolah santai dengan penzaliman ini, padahal nominal uang yang dipinjam itu sangat besar untuk ukuran keluarga kami yang tergolong biasa-biasa saja.
“ Kama Esy tuh…?.” Sapa Tek Lis dari atas motor barunya ketika melihat aku berjalan sendiri ke kampus.
“ Ke kampus Tek.” Jawabku sekenanya
“ Iyolah Sy, Etek duluan ya, Etek mau ke pasar dulu.” Kata Etek seraya berlalu. Kutatap kepergiannya dengan tampang sinis. Tidak ingin rasanya bertemu dia lagi, apalagi melihat sifatnya yang tak mengalami perubahan bahkan setelah ibu mengirim surat.


Suasana kampus tidak begitu ramai, kemungkinan karena mahasiswa masih banyak yang pulang kampung menikmati sisa libur semesternya. Aku melihat uni Esa sedang duduk di kantor dekanat, tanpa fikir panjang segera kutemui uni.
“ Kenapa uni disini, tidak ada kuliah?.” Tanyaku mengintrogasi.
“ Esy…. Alhamdulillah uni dapat rezeki dik.” Ungkap uni seraya menghambur dipelukanku. Sontak aku kaget.
“ Dapat rezeki apa uni, Kok senang sekali?.” Aku sampai terheran-heran.
“ Uni dapat beasiswa pertukaran mahasiswa ke jepang Dik…ke jepang..!!!” kata Uni antusias.
“ Benar uni…??? Selamat uni….” Sekarang gantian aku yang begitu antusias. Uniku tersayang bakal terbang ke negri sakura, negri impian yang sedari lama ia impikan.
Setelah bercerita panjang lebar ternyata uni mendapatkan beasiswa dari Japan Foundation untuk pertukaran mahasiswa sastra. Uni dari jurusan sastra Indonesia merupakan mahasiswa tunggal yang bakal diterbangkan ke Jepang untuk memperkenalkan sastra Indonesia secara luas kepada mahasiswa sastra di jepang. Sedikit minder melihat prestasi uni yang satu ini, uni begitu perfect dan confident dengan akademisnya, sedangkan aku sedikit kacau. Aku dan uni masih satu fakultas tapi beda jurusan. Kalau uni Sastra Indonesia, aku kuliah di jurusan Sastra Inggris. Dulu waktu pemilihan jurusan aku sempat meremehkan jurusan yang dipilihnya, karena waktu itu aku masih berfikir Sastra Indonesia adalah jurusan yang susah mendapat kerja, kurang tersohor seperti jurusan sastra inggris atau jurusan di fakultas lain. Akan tetapi, sekarang baru aku mengerti bahwa takdir Tuhan itulah yang terbaik, buktinya jurusan sastra Indonesialah yang mengantarkan uni nanti menginjakkan kaki di tanah matahari terbit itu.


Pagi yang hangat, aku dan amak sibuk menyiapkan keperluan untuk keberangkatan uni ke Jepang, mulai dari odol sampai minyak angin, bahkan cukup dengan makanan yang halalan toyibah tersedia di travel bag besar uni.
Ada haru bercampur senang terpancar di mata Amak. Aku tahu Amak sangat senang melihat anak kesayangannya berprestasi luar biasa di kampus, tetapi tampak ada ketakutan yang tersirat di raut mukanya, takut kalau uni Esa mengalami hal yang tidak diinginkan di negri orang.
“ Hati-hati Esa disana ya Nak! Itu negri orang, jangan dicari-cari masalah, tak ada tempat mengadu kalau ada apa-apa, Amak disini takkan bisa membantu Esa disana!” Nasihat amak yang berlinang air mata.
“ Amak tenang saja, percayalah kalau Allah akan membantu Esa, Allah akan dekat dengan hambaNya yang berserah diri. Insyaallah Mak, Esa akan baik-baik saja selama disana.” Uni berusaha menenangkan Amak.
Aku, Abak, dan Amak mengantarkan uni ke bandara, belum lama perjalanan, tepat didepan rumah Tek Lis terlihat ada kerusuhan, ada api membumbung tinggi dengan asap hitam pekat di udara. Hatiku cemas, ada apa gerangan yang terjadi. Abak keluar dari mobil dan mendekat kearah kerusuhan.
“ ada apa Zainudin?.” Teriak abah keras pada pak udin yang berada disana.
“ Rumah Si Gafur terbakar Angku, Si Imu ada didalam.” Jelasnya
Aku yang mendengar percakapan itu dari dalam mobil segera keluar. Badanku gemetar, sungguh ada ketakutan yang sangat menyerang ubun-ubunku. Imu…. Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Tak terasa ada butir bening keluar dari bola mataku. Amak lebih-lebih lagi, ia langsung berlari kekerumunan orang, mencari jejak adik sepupu dan keponakannya.
“ Allahuakbar… Lailahailallah… Allah….” teriakan takbir membahana dari segala penjuru.
Amak mencoba menerobos kerumunan mendekati lokasi kebakaran.
“ Lisa……” Teriak Amak histeris. Banyak tangan yang menghalangi Amak, namun Amak tetap meronta.
“ Mano Si Lisa tu nyo, tolonglah inyo didalam…” Raung Amak diiringi tangisan keras.
“ Uni…” Suara Tek Lis terdengar dari dalam kerumunan masa.
“ Lisa..” lirih Amak seraya memeluk erat adik sepupu kesayangannya.
“ Imu uni…” Ucap Tek Lis.
“ Imu didalam……” Bisiknya lirih dengan linangan air mata pedih.
“ Lailahaillalah… Allahuakbar… Imu…Imu..”. suara teriakan semakin nyaring.
Aku terduduk di tanah, air mata terus mengalir tanpa bisa dihentikan. Api yang membumbung tinggi tiba-tiba mengecil, tapi sudah terlambat untuk menyelamatkan apapun yang ada didalammya, semuanya rata dengan tanah. Yang tersisa hanya bau hangus dari sisa bakaran itu. Lunglai lututku untuk berdiri, pesawat uni akan berangkat tiga puluh menit lagi. Aku disuruh mengantarkan uni sendiri karena Amak dan Abak harus menangani masalah ini, apa lagi Imu belum juga ditemukan.

Hati- hati ya uni.” Pesanku mengiringi kepergian uni. Kupeluk tubuhnya erat. Aku takut jika seandainya ini adalah saat terakhir aku bertemu dengan uni.
Doakan uni ya Dik sayang.” Bisik uni tepat ditelingaku disusul langkah kakinya meninggalkan bandara.
“ Uni, Sy doakan semoga sukses.” Ucapku seraya menghapus air mata.
Setelah mengantarkan uni, aku kembali ke rumah, disana sudah ramai dengan sanak keluarga. Disudut serambi terlihat Pak Etek Gafur bercerita diiringi linangan air mata.
“ Imu tadi sedang tidur ketika api dari kabel kulkas tiba-tiba terbakar, ambo tidak bisa menyelamatkan apa-apa lagi karena waktu itu, keadaan ambo terjepit”. Ungkap Pak Etek Gafur.
” Sabarlah Gafur, kamu sedang diuji”. Nasihat abak singkat.
“ Angku….. maafkan ambo karena sudah melalaikan pembayaran utang yang sudah ambo janjikan sama angku.” Kata Pak Etek Gafur mengiba.
“ Sebelumnya ambo minta maaf pada kau gafur, sebenarnya dari mana kau dapat uang banyak untuk membeli perabot mewah itu?.” Tanya Abak menyelidik.
Pak Etek Gafur terdiam sejenak, tak lama kemudian air matanya mengalir lagi.
” Ambo salah Angku, sudah setahun ini ambo membuka warung judi di simpang tiga koto tangah, dari situ ambo mendapat untung yang banyak dan bisa membeli semua keperluan yang dibutuhkan si lisa dan anak-anak, ambo tahu kerjaan itu tidak halal, tapi angku…hhhh… Ambo menyesal, sungguh….” Air mata pak etek mengalir semakin deras.
Aku menatap sekeliling halaman, disudut sana terlihat sesosok tubuh kecil yang telah menghitam dimandikan. Wajah-wajah menyiratkan kesedihan. Tiba-tiba sebuah mangga jatuh dari tangkainya.
“ Imu…maafkan uni karena terlambat mengajak Imu untuk memetik mangga ini.”


KETERANGAN:
Indak : tidak
Samba lado : sambal khas minang
Ondeh : aduh
Beko tatalan tulang pulo : nanti tertelan tulang
Indak tantu Esy do ni : Tidak tahu Esy ni
Indak buliah : tidak boleh
Kama Esy tuh : Esy kemana
Angku : panggilan untuk orang yang dituakan
Ambo : saya

0 comments:

Posting Komentar

About Me

Foto saya
Padang - Bengkulu
Hii, my name is yona//25 yo// Pharmacist// Teacher// Love writing, reading, traveling, and culinary// English learner.

Popular Posts

Categories

Blog Archive

TAMU